Laman

Selasa, 29 Oktober 2013

Andriyanto: Kunjungi letak rumah saya

Andriyanto: Kunjungi letak rumah saya: http://wikimapia.org/#lang=id&lat=-5.030472&lon=105.266042&z=19&m=bs&tag=164&show=/29339026/id/RUMAH-BAPAK-SUKIN-ata...

MAKALAH TENTENG ANTIBIOTIKA

PENDAHULUAN
A N T I B I O T I K A

Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi/jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain.Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya kuinolon).Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, harus mememiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, antibiotika tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia.
Antibiotika adalah obat yang sangat ampuh dan sangat bermanfaat jika digunakan secara benar. Namun, jika digunakan tidak semestinya antibiotika justru akan mendatangkan berbagai mudharat. Yang harus selalu diingat, antibiotika hanya ampuh dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak dapat membunuh virus. Karena itu, penyakit yang dapat diobati dengan antibiotika adalah penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Penyebab timbulnya resistensi antibiotika yang terutama adalah karena penggunaan antibiotika yang tidak tepat, tidak tepat sasaran, dan tidak tepat dosis. Tidak tepat sasaran, salah satunya adalah pemberian antibiotika pada pasien yang bukan menderita penyakit infeksi bakteri. Walaupun menderita infeksi bakteri, antibiotika yang diberikan pun harus dipilih secara seksama. Tidak semua antibiotika ampuh terhadap bakteri tertentu. Setiap antibiotika mempunyai daya bunuh terhadap bakteri yang berbeda-beda. Karena itu, antibiotika harus dipilih dengan seksama. Ketepatan dosis sangat penting diperhatikan. Tidak tepat dosis dapat menyebabkan bakteri tidak terbunuh, bahkan justru dapat merangsangnya untuk membentuk turunan yang lebih kuat daya tahannya sehingga resisten terhadap antibiotika. Karena itu, jika dokter memberikan obat antibiotika, patuhilah petunjuk pemakaiannya dan harus diminum sampai habis. Pemakaian antibiotika tidak boleh sembarangan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Itu sebabnya, antibiotika tidak boleh dijual bebas melainkan harus dengan resep dokter. Terlalu sering mengonsumsi antibiotika juga berdampak buruk pada ''bakteri-bakteri baik'' yang menghuni saluran pencernaan kita. Bakteri-bakteri tersebut dapat terbunuh, padahal mereka bekerja membuat zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan kita. Pemakaian antibiotika atau kemoterapetika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang menjadi kurang efektif. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan antibiotika/ kemoterapeutika yang luas pemakaiannya dalam masyarakat.
.







SEFALOSPORIN

§                 Hubungan struktur dan aktivitas
Sefalosporin dan penisilin termasuk golongan antibiotika β – laktam. Sefalosporin mulai dikenal sejak tahun 1945. Guiseppe Brotzu berhasil mengisolasi dan menyelidiki salah satu spesies dari lumut, yaitu Cephalosporium acremonium yang mempunyai efek antibakterial terhadap kuman tifoid, Brucela, kuman kolera, dan Staphylococcus aureus. Tahun 1949, Dr. Edward Abraham dan H.S. Burton menemukan sedikitnya ada dua macam antibiotika yang diproduksi oleh lumut tersebut.
Antibiotika pertama dinamakan sefalosporin P, dan antibiotika ke dua dinamakan sefalosporin N. Struktur ini kemudian diberi nama penisilin N tetapi sifat antibakterialnya berbeda dengan bensilpenisilin. Apabila penisilin N dijalankan secara kromatografi akan terlihat beberapa substansi yang diberi tanda A, B dan C. Komposisi C keluar menjadi suatu antibiotika dan diberi nama sefalosporin C. Akhirnya, pada tahun 1964 dua macam sefalosporin digunakan untuk kepentingan klinik, yaitu sefalotin dan sefaloridin. Sesudah itu diikuti dengan munculnya turunan-turunan baru (3).
Ciri khas kelompok sefalosporin adalah asam 7-amino sefalosporanat (7-ACA : 7-aminochephalosporanic acid) yaitu gabungan antara cincin β – laktam dan hidrotiazin. Berbeda dengan inti penisilin meskipun keduanya termasuk antibiotik β – laktam. Sefalosporin C resisten terhadap penisillinase, tetapi dirusak oleh sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7 – ACA yang kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin. Melalui perubahan rantai R pada cincin beta-laktam dihasilkan bermacam jenis sefalosporin yang mengakibatkan perubahan sifat antibakterial dan kimiawi, sehingga kemudian dikelompokkan dalam generasi I, II dan III.



A = Cincin dihidrotiazin
B = Cincin β - laktam

            Modifikasi R1 pada posisi 7 cincin β – laktam dihubungkan dengan aktivitas antimikrobanya, sedangkan substitusi R2 pada posisi 3 cincin dihidroziatin mempengaruhi metabolisme dan farmakokinetiknya. Sefamisin mempunyai struktur kimia yang mirip dengan sefalosporin, tetapi mempunyai metoksi pada 7 cincin β – laktam. Pada inti dapat diikat berbagai radikal sehingga diperoleh jenis-jenis sefalosporin lain.

§                 Aktivitas antimikroba
            Seperi halnya antibiotik β – laktam lain, mekanisme kerja antimikroba sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin dibagi menjadi 3 generasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya..
a)      Sefalosporin generasi pertama
Memperlihatkan spektrum antimikroba yang terutama aktif terhadap kuman gram – positif. Keunggulannya dari penislin adalah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisillinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar S.aureus dan Streptococcus termasuk Str.pyogenes, Str.viridans dan Str.pneumoniae. bakteri gram-positif yang juga sensitif ialah Str.anaerob, Clostridium perfrigens, Listeria monocytogenes dan  Corynebacterium diphteriae. Sefalospirin generasi pertama meliputi senyawa-senyawa yang semula dikembangkan yakni;
·         sefalotin,
·         sefalosin,
·         sefasporin,
·         sefadrin,
·         sefaleksin, dan
·         sefadroksil.
b)     Generasi kedua sefalosporin
Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram-positif dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram-negatif; misalnya H.influenzae, Pr.mirabilis, E.coli dan Klebsiella. Therhadap Ps.aeruginosa dan enterokukos golongan ini tidak efektif. Untuk infeksi saluran empedu golongan ini tidak dianjurkan karena dikhawatirkan enterokokus termasuk salah satu penyebab infeksi. Sefoksitin aktif terhadap kuman anaerob. Sefalosporin generasi kedua ini mecakup :
·         sefamandol,
·         sefoksilin,
·         sefaktor, dan
·         sefuroksin.
c)      Generasi ketiga sefalosporin
Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kokus gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Di antara sediaan golongan ini ada yang aktif terhadap Ps.aeruginosa. Generasi ketiga sefalosporin meliputi :
·         sefotaksim,
·         moksalaktam, dan
·         sefoperazon.
      Dewasa ini sefalosporin yang lazim digunakan dalam pengobatan, telah mencapai generasi ketiga. Mekanisme kerja antibiotik sefalosporin yaitu inhibisi sintetis dinding sel bakteri dengan cara seperti antibiotik penisilin.
      Sefalosporin aktif terhadap kuman gram - positif maupun gram – negatif, tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi.




S I F A T   U M U M


·        FARMAKOKINETIK

Berdasarkan sifat farmakokinetiknya, sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan. Sefaleksin, sefradin, sefaktor, dan sefadroksil yang dapat diberikan per-oral karena diabsorbsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan secara intra vena karena menyebabkan iritasi lokal dan nyeri pada pemberian intra muscular.
Sefalosporin yang lain diberikan secara suntikan intra vena atau intra muscular. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, moksalaktam, sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar darah-uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relatif tinggi, tetapi mencapai vitreus. Kadar sefalosporin dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan sefalosporin dieksresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieksresi melalui empedu.  Karena itu dosisnya harus dikurangi pada penderita insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin, dan sefotaksim mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.






Sifat farmakokinetik berbagai preparat sefalosporin dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel . Beberapa Data Farmakokinetik Sefalosporin
Jenis Sefalosporin
Cara Pemberian
Ikatan protein plasma (%)
T ½ plasma (jam)
Ekskresi dalam urin (%)
Efek probenesid
Generasi Pertama :





 Sefalotin
IV dan IM
70
0.6
70-80
+
   Setazolin
IV dan IM
85
1.8
95
-
Sefapirin
IV dan IM
47-65
1.2
90(50)*
+
Sefradin
Oral, IV, dan IM
14
0.8
86
+
Sefaleksin
Oral
10-15
0.9
90
+
Sefadroksil
Oral
20
1.5
90
+
Generasi kedua :





 Selfamandol
IV dan IM
75
0.8
85
+
Sefoksitin
IV dan IM
70-80
0.8
>85
+
Sefaklor
Oral
40
0.8
60-85
+
Sefuroksim
IV dan IM
33
1.7
>85
+
Sefuroksim aksetil
Oral
-
1.7
-
-
Generasi ketiga :





Sefotaksim
IV dan IM
40-50
1.1
90(50)*
+
Moksalaktam
IV dan IM
40-50
2.1
90
-
Sefoperazon
IV dan IM
82-93
2.1
30**
-
Seftizoksim
IV dan IM
30
1.8
90
+
Seftriakson
IV dan IM
83-96
8
60-80
-
Seftadizim
IV dan IM
17-20
1.8
75-85
-
Sefsulodin
IV dan IM
30
1.7
65-70
-












·                    EFEK SAMPING
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip reaksi alergi yang sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada penderita dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada penderita dengan alergi penisilin berat tidak dianjurkan penggunaan sefaloporin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Reaksi Coombs sering timbul pada penggunaan sefalosporin dosis tinggi. Depresi sumsum tulang terutama granulositopenia dapat timbul meskipun jarang.
Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, meskipun jauh kurang toksik dibandingkan dengan aminoglikosida dan polimiksin. Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian sefalodrin 4g/hari. Sefalosporin lain pada dosis terapi jauh kurang toksik dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin dengan gentamisin atau tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.
















I N D I K A S I   K L I N I K

            Sediaan sefalosporin seyogyanya hanya digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri berat atau yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan spektrum antibakterinya. Anjuran ini diberikan karena selain harganya mahal, potensi antibakterinya yang tinggi sebaiknya dicadangkan hanya untuk hal tersebut di atas. Perlu diingat bahwa sefalosporin generasi pertama dan kedua bukan merupakan obat terpilih untuk kebanyakan infeksi karena tersedia obat lain yang efektivitasnya sama dan harganya lebih murah.
            Dari berbagai uji klinik telah terbukti, bahwa sefalosporin generasi ketiga dapat digunakan untuk terapi maupun untuk profilaksis, untuk pengobatan infeksi oleh Klebsiella, sefalosporin tunggal maupun dalam kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat pilihan utama. Beberapa sediaan sefalosporin generasi ketiga merupakan

















           
K E S I M P U L A N

Pemakaian antibiotika atau kemoterapetika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang menjadi kurang efektif. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan antibiotika/kemoterapetika yang luas pemakaiannya dalam masyarakat. Pemakaian antibiotika yang sering, menyebabkan antibiotika tersebut menjadi resisten. Efektivitas antibiotika yang berubah ini disebabkan adanya perubahan pada DNA kuman
antara lain berupa penambahan sepotong kecil DNA yang dinamakan plasmid. Salah satu hasil plasmid adalah ensim β-laktamase. Ensim tersebut menyebabkan antibiotika β- laktam betalaktam menjadi senyawa inaktif melalui proses hidrolisis. Salah satu antibiotika beta-laktam adalah sefalosporin yang pertama kali dikenal tahun 1945. Hingga kini dikenal tiga generasi yaitu generasi I, II dan III dengan keistimewaannya masing-masing. Untuk mendapatkan antibiotik baru yang potensiil, perkembangan produk antibiotik saat ini cenderung ke arah derivatisasi kimia untuk menghasilkan antibiotik semisintetik dari antibiotik yang sudah dikenal dan biokonversi senyawa alami dengan bantuan mikroorganisme. Namun demikian antibiotik baru dari sumber alam (mikroorganisme) masih dibutuhkan dan terus dicari. Metode skrining yang paling mutakhir terus dikembangkan. Mutasi strain penghasil antibiotik yang sudah dikenal juga dikembangkan, dengan harapan mutasi gen pengontrol biosintesis antibiotik mungkin dapat mengubah struktur produk akhir. Mutasi pada strain inaktif juga dapat mengubah metabolisme normal dan mensintesis metabolit yang mempunyai aktivitas antibiotik. Para ahli terus mencari dan berupaya dengan berbagai cara untuk mendapatkan antibiotik baru. Skrining antibiotik semakin ketat terutama mencari antibiotik yang mempunyai aktivitas tinggi terhadap mikroba patogen, toksisitas terhadap sel manusia dan binatang rendah, spektrum lebih lebar, stabilitas baik (dan karakteristik farmakokinetik memuaskan).







D A F T A R   P U S T A K A


Anonim, (1993), How to Investigate Drug Use in Health Facilities, World Health Organization, Geneva

Quick, J.D. (EDITOR), (1997), Managing Drug Supply, 2nd Ed., bab III D.28. 422–437, Kumarian Press, West Hartford

Zai, C., (2002), “Evaluasi Manajemen Obat: Penggunaan Obat yang Rasional dan Biaya Pemakaian Obat di Puskesmas Kabupaten Nias, Tesis, 50–62, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta

Butterworth D. Clavulanic acid. In: Biotechnology of Industrial
Antibiotics. Vandamme EJ led). New York : Marcell Dekker Inc. 1984 :
225­36.

Fukagawa Y, Ishikura T. Carbapenem compounds. In : Biotechnology of
Industrial Antibiotics, Vandamme EJ (edi. New York; Marcell Dekker Inc,
1984 : 237­58.

Perlman D. Microbial production of antibiotics. In : Microbial
Technology2nd. ed. vol. I. London : Academic Press, 1979: 241­80.

Sermonti G. Genetics of Antibiotics­Producing Microorganisms, Toronto :
Wiley Interscience, 1969 : 100 -43.

Vandamme EJ. Antibiotic Search & Production : An overview. In :
Biotechnology of Industrial Antibiotics, Vandamme EJ led). New York;
Marcell Dekker Inc. 1984 : 3­32.