MILK FEVER (Demam Susu)
(hipokalsemia, paresis puerpuralis, calving paralysis,
parturient paralysis, parturient apoplexy)
1. Definisi
Milk Fever pada sapi perah mempunyai beberapa
sinonim yaitu Hipokalsemia, paresis
puerpuralis dan parturient paresis (Goff 2006). Milk fever
adalah penyakit gangguan metabolisme yang terjadi pada sapi betina
menjelang/saat/sesudah melahirkan yang menyebabkan sapi menjadi lumpuh.
Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar kalsium (Ca) dalam darah
(Horst et al. 1997). Ca berperan penting dalam fungsi system syaraf.
Jika kadar Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan
terganggu, sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan mengalami
kelumpuhan. Kasus milk fever terjadi pada 48 – 72 jam setelah
sapi melahirkan, sapi yang mengalami gangguan ini biasanya sapi yang
telah beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun dan produksi tinggi
(lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu,
angka kejadian milk fever 3-4 kali lebih tinggi pada sapi yang
dilahirkan dari induk yang pernah mengalami milk fever
2. Etiologi
Penyebab yang jelas belum ditemukan, tetapi biasanya ada hubungannya dengan
produksi yang tinggi secara tiba-tiba pada sapi yang baru melahirkan. Sapi yang
menderita penyakit ini di dalam darahnya dijumpai adanya hipocalcaemia yaitu
penurunan kadar kalsium yang cepat di dalam serum darah penderita
(Hardjopranjoto 1995; Girindra 1988; Fraser 1991; Wondonga 2002; Carlton
1995). Subronto (2001) mengatakan bahwa dahulu gangguan ini diduga
disebabkan oleh adanya bendungan pada sistem syaraf, alergi, penyakit neuro
muskuler, penyakit keturunan, penyakit ketuaan, penyakit infeksidan penyakit
defisiensi makanan yang menyangkut kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin D dan
protein. Pada keadaan normal kadar Ca dalam darah adalah 9-12 mgram
persen. Pada keadaan subklinis kadar Ca dalam darah 5-7 mgram persen dan
pada kejadian hypocacaemia kadar ion Ca dalam darah 3-5 mgram persen.
Girindra (1988) mengatakan bahwa jumlah kalsium yang terdapat dalam darah
dan cairan ekstra sel hanya kira-kira 8 gram, sedangkan untuk keperluan laktasi
dalam satu hari dibutuhkan 3 x jumlah itu. Jadi kekurangan kalsium jelas
merupakan predisposisi kejadian hypocalcaemia.
3. Patogenesis
Pada kenyataannya hypocalcaemia sering diikuti dengan hipofosfatemia,
hipermagnesemia atau hipomagnesemia dan hiperglicemia. Penurunan kadar
kalsium dan posfor ini adalah sebagai akibat dari pemakaian mineral terutama
kalsium dan posfor secara besar-besaran untuk sintesa air susu dalam ambing
dalam bentuk kolostrum secara tiba-tiba menjelang kelahiran. Subronto
(2001) mengatakan bahwa adanya hypocalcaemia akan diikuti oleh perubahan kadar
fosfor dan gula dalam darah. Kadar fosfor plasma yang rendah diakibatkan
oleh penurunan penyerapan fosfor anorganik dari usus. Mungkin pula
disebabkan oleh meningkatnya sekresi parathormon, hingga ekskresi fosfor
meningkat. Pada sapi yang baru melahirkan terbukti kadar hormon tersebut
meningkat, sebanding dengan penurunan kadar fosfat di dalam darahnya.
Kenaikan parathormon akan diikuti oleh kenaikan pembongkaran kalsium dalam
tulang, yang dalam hal ini dapat dilihat dari ada tidaknya kenaikan hidroksi
prolin di dalam kemih. Hidroksi prolin merupakan hasil pemecahan
kalogen. Dalam hal ini kadar magnesium dalam serum darah
mempengaruhi gejala yang timbul pada sapi perah. Jika kadar
magnesium dalam serum normal atau lebih tinggi maka gejala tetani dan eksitasi
akibat hipocalcaemia akan diikuti oleh relaksasi, otot lemah, depresi dan
koma. Jika kadar magnesium rendah dalam serum maka akan terlihat
kekejangan selama beberapa waktu. Berkurangnya kadar magnesium dalam
plasma darah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena pembebasan
magnesium bersama air susu yang besarnya 0.1 g dan berkurangnya penyerapan
magnesium lewat dinding usus.
Gangguan terhadap metabolisme karbohidrat juga dapat menyebabkan
berkurangnya kadar magnesium dalam plasma darah. Bila kadar magnesium
dalam serum hewan yang menderita hypocacaemia tidak menurun atau lebih tinggi
maka gejala eksitasi dan tetani akan segera diikuti oleh relaksasi.
Otot-otot kelihatan melemah, depresi dan pada akhirnya koma. Perbandingan
Ca:Mg bisa berubah dari 6:1 menjadi 2:1 dan dalam perbandingan ini efek narkase
magnesium nyata dapat dilihat. Hypocalcaemia dapat menghambat ekskresi
insulin sehingga pada kasus ini biasanya selalu diikuti kenaikan kadar glukosa
darah (Girindra 1988). Subronto (2001) mengatakan bahwa kenaikan moderat
kadar glukosa dalam darah (hiperglisemia) dijumpai pada sapi yang baru
melahirkan dan hewan tidak memperlihatkan gejala klinis. Pada sapi yang
menderita paresis berat kadar glukosanya dapat mencapai 160 mg/dl. Hal
ini disebabkan oleh terhambatnya sekresi insulin oleh karena turunnnya kadar
kalsium darah. Selain itu hyperglisemia juga dapat disebabkan oleh
meningkatnya produksi hormon glukagon yang dihasilkan oleh sel A dari pankreas
dan berfungsi untuk menaikkan kadar glukosa darah serta meningkatkan
pembongkaran glikogen hati. Glukagon juga mampu merangsang enzim
adenil siklase di dalam hati, hingga proses glikogenolisis ditingkatkan dan
menghambat sintesa glikogen dari UDP-glukosa (UDP, uridin difosfat).
Kadang-kadang dalm milk fever juga terjadi penurunan kadar potassium.
Penurunan kadar ion K tersebut sebanding dengan lamanya sapi tidak dapat
berdiri. Makin lama berbaring makin besar penurunan ion K. Sapi
yang terlalu lama berbaring oleh rusaknya sel-sel otot akan diikuti kenaikan
kadar SGOT. Pada kasus milk fever kadang-kadang kenaikan enzima tersebut
mencapai 10%. Kemungkinan faktor genetis yang berhubungan dengan produksi susu
yang tinggi merupakan penyebab lain dari penyakit paresis puerpuralis.
Pada sapi perah yang pernah menderita penyakit ini dapat menurunkan anak yang
juga mempunyai bakat menderita paresis puerpuralis.
Paresis puerpuralis biasanya terjadi 18-24 jam post partus. Akan
tetapi dari laporan bahwa penyakit ini dapt juga terjadi beberapa jam sebelum
partus atau beberapa hari setelah partus. Penyakit ini juga dapat terjadi
pada induk sapi yang mengalami kelahiran yang sukar (dystokia) karena
kurangnya kekuatan untuk mengeluarkan fetus. Kasus yang terjadi di
lapangan mulai terjadi sejak dua minggu post partus dan sapi benar-benar ambruk
baru lima hari.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa ada beberapa teori, mengapa sapi
perah yang baru melahirkan dan produksi susu tinggi sering terjadi
hipocalcaemia sehingga mendorong terjadinya kasus paresis puerpuralis.
- Hormon parathyroid yang kadarnya mengalami penurunan dalam darah (defisiensi), karena stres kelahiran dapat mengganggu keseimbangan mineral dalam darah khususnya kalsium disusul adanya hipokalcaemia dan selanjutnya timbul kasus paresis puerpuralis. Berkurangnya aktivitas parathormon pada saat kelahiran disebabkan oleh defisiensi vitamin D.
- Stres melahirkan menyebabkan hormon tirokalsitonin yang mengatur glukosa usus dalam menyerap mineral kalsium dari pakan menurun dan mempengaruhi kadar kalsium dalam darah. Bila hormon tirokalsitonin menurun dapat diikuti menurunnya kadar kalsium dalam darah. Hormon tirokalsitonin atau kalsitonin dihasilkan oleh sel ultimobranchial C dari kelenjar tiroid.
- Waktu proses kelahiran, kalsium dibutuhkan terlalu banyak oleh air susu, khususnya dalam kolostrum. Kebutuhan ini dapat dicukupi dari ransum pakan ternak, dari tulang dalam tubuh induk atau dari darah. Rendahnya penyerapan kalsium dalam ransum pakan atau absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan, dapat disebabkan adanya gangguan pada dinding usus. Penurunan nafsu makan pada induk yang sedang bunting mengakibatkan masuknya bahan pakan menurun, menyebabkan penyediaan kalsium dalam alat pencernaan yang rendah diikuti oleh penyerapan kalsium juga rendah. Daya menyerap dinding usus terhadap kalsium dapat menurun pada induk sapi yang sudah tua. Pada sapi yang masih muda 80% kalsium dalam usus dapat diserap, makin tua umurnya makin menurun daya serap usus terhadap kalsium, karena pH usus yang tinggi dan kadar lemak yang tinggi dalam makanan dapat menghambat penyerapan kalsium. Pada sapi yang sudah tua, penyerapan kalsium hanya mencapai 15% dari kalsium yang ada dalam pakan.
- Persediaan kalsium dalam tulang yang dapat dimobilisasi, bervariasi menurut umur sapi. Pada anak sapi, 6-20% kebutuhan normal akan kalsium dapat disediakan oleh tulang, sedang pada sapi yang telah tua kemampuan tulang dalam menyediakan kalsium hanya 2-5%.
- Vitamin D berperan dalam menimbulkan kasus paresis puerpuralis. Gangguan terhadap produksi pro vitamin D dalam tubuh dapat mengurangi tersedianya vitamin D dan dapat mendorong terjadinya penyakit ini, karena vitamin D mengatur keseimbangan kalsium dan posfor dalam tubuh dan proses deposisi atau mobilisasi kalsium dari tulang yang masih muda. Vitamin D yang aktif di dalam metabolisme kalsium dan fosfor adalah vitamin D3 (25-Hydroxycholecalciferol).
- Hormon estrogen dan steroid yang lain baik yang dihasilkan oleh plasenta maupun kelenjar adrenal bagian korteks dapat menurunkan penyerapan kalsium dari usus atau mobilisasi kalsium dari tulang muda. Pada sapi bunting aktifitas estrogen plasma meningkat sampai satu bulan sebelum melahirkan. Peningkatan berlangsung dengan cepat satu minggu sebelum melahirkan untuk kemudian menurun tajam 24 jam sebelum melahirkan.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya paresis puerpuralis yaitu :
- Produksi susu tinggi. Sapi perah yang mempunyai produksi susu yang tinggi membutuhkan kalsium dari darah untuk produksi susu yang tinggi. Akibatnya kadar kalsium dalam darah dalam waktu singkat menjadi rendah (hypocalcaemia), diikuti gejala paresis puerpuralis.
- Umur. Produksi susu secara normal, grafiknya akan meningkat mulai laktasi keempat sampai umur-umur berikutnya dan diikuti dengan kebutuhan kalsium yang meningkat pula. Sedangkan kemampuan mukosa usus untuk menyerap kalsium makin tua umurnya makin menurun.
- Nafsu makan. Pada kira-kira 8-16 jam sebelum partus induk sapi akan menurun nafsu makannya swampai pada tidak mau makan sama sekali. Hal ini mengakibatkan persediaan kalsium dalam pakan yang siap dicerna menjadi menurun, akibatnya kekurangan kalsium diambil dari darah sehingga kalsium dalam darah menjadi turun dan diikuti oleh hypocalcaemia. Penurunan nafsu makan mungkin juga disebabkan meningkatnya kadar estrogen dalam darah pada fase terakhir dari kebuntingan menjelang terjadinya kelahiran. Keadaan ini dapat mengganggu keseimbangan kalsium dalam tubuh sehingga kadar kalsium dalam darah merosot dari keadaan normal yaitu 9-12 mgram persen menjadi 4-5 mgram persen.
- Ransum makanan. Ransum yang baik adalah bila imbangan antara Ca dan P mempunyai perbandingan 2 dan 1. Ransum pakan semacam ini adalah ransum yang dianjurkan sapi untuk sapi perah menjelang partus. Sapi bunting tua yang diberi ransum kaya akan Ca dan rendah P cenderung mengalami paresis puerpuralis sesudah melahirkan.
4. Gejala
Klinis
Gejala awal yang ditemui yaitu sapi masih
berbaring, nafsu makan turun, kurang peka terhadap lingkungan, cermin hidung
kering, tremor pada otot, suhu tubuh rendah, kaki belakang lemah dan terjadi
penimbunan gas di dalam rumen. Jika semakin parah, maka sapi hanya mampu
bertahan 6 – 24 jam. Sebenarnya angka kesembuhannya cukup baik dan tingkat
mortalitas kurang dari 2-3 % apabila segera diketahui dan diberi pertolongan
(Champness & Hamilton 2007).
5. Pengobatan
dan Pencegahan
Pengobatan sapi yang menampakkan gejala adalah
penyuntikan 1000 ml calcium borogluconas 40 % secara intravena pada vena
jugularis (Braun et al. 2006). Suntikan dapat diulangi kembali setelah
8 – 12 jam kemudian. Apabila belum menampakkan hasil, maka dapat diberikan
preparat yang mengandung magnesium. Hanya sedikit susu yang boleh diperah
selama 2 – 3 hari. Pengosongan ambing sebaiknya dihindari selama waktu tersebut
untuk mencegah terjadinya paresis peurpuralis. Kadar kalsium dalam
pakan harus dikurangi pada akhir periode laktasi. Pemberian kosentrat
dapat diberikan 2 kg/hari atau selama periode kering kandang dengan mengurangi
pemberian legum atau suplemen mineral. Peningkatan pemberian konsentrat baru
dapat dilakukan 2 minggu menjelang sapi melahirkan (Bewley & Phillips
2010).
Pencegahan terhadap kejadian milk fever sangat dipengaruhi oleh jumlah
kalsium yang dapat diserap. Pemberian kalsium hendaknya sekedar untuk memelihara
fungsi faali. Yang ideal jumlah Ca dalam pakan sehari adalah 20 gram
saja. Banyak sapi yang mengalami milk fever oleh pemberian kalsium yang
tinggi, tidak terganggu oleh pembatasan pemberian unsur tersebut. Di
daerah yang cukup kandungan kalsiumnya dalam pakan sehari-hari pemberian
mineral blok yang mengandung kalsium-fosfat tidak dianjurkan untuk sapi yang
bunting sarat. Setelah melahirkan pemberian garam kalsium harus
ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Carlton, W.W and M.Donald. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd
edition. Mosby. USA.
Fraser, C. M. 1991. The Merck Veterinary Manual: Hand Book of Diagnosis,
Therapy and Disease Prevention and Control for The Veterinarian. 7th
ed. Merck & Co., Inc. USA.
Harjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University
Press. Surabaya.
Subronto. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Anonimus
a, Hipokalsemia. Medicastore.com
Achjadi, K.
2003. Penyakit Gangguan Metabolisme. Handout Kuliah. Bagian Reproduksi
danKebidanan. FKH-IPB
Tillman, Hartadi. H, Rekso Hadiprojo. S., Prawirokusumo, Lebdosoekodjo. 1998. IlmuMakanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar