PENDAHULUAN
A N T I B I O T I K A
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama
fungi/jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis
lain.Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik
penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik tidak diturunkan dari produk
mikroba (misalnya kuinolon).Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi
mikroba, penyebab infeksi pada manusia, harus mememiliki sifat toksisitas
selektif setinggi mungkin. Artinya, antibiotika tersebut haruslah bersifat
sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia.
Antibiotika adalah obat yang sangat ampuh dan sangat bermanfaat jika
digunakan secara benar. Namun, jika digunakan tidak semestinya antibiotika justru
akan mendatangkan berbagai mudharat. Yang harus selalu diingat, antibiotika
hanya ampuh dan efektif membunuh bakteri tetapi tidak dapat membunuh virus.
Karena itu, penyakit yang dapat diobati dengan antibiotika adalah
penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Penyebab
timbulnya resistensi antibiotika yang terutama adalah karena penggunaan
antibiotika yang tidak tepat, tidak tepat sasaran, dan tidak tepat dosis. Tidak
tepat sasaran, salah satunya adalah pemberian antibiotika pada pasien yang
bukan menderita penyakit infeksi bakteri. Walaupun menderita infeksi bakteri, antibiotika
yang diberikan pun harus dipilih secara seksama. Tidak semua antibiotika ampuh
terhadap bakteri tertentu. Setiap antibiotika mempunyai daya bunuh terhadap
bakteri yang berbeda-beda. Karena itu, antibiotika harus dipilih dengan
seksama. Ketepatan dosis sangat penting diperhatikan. Tidak tepat dosis dapat
menyebabkan bakteri tidak terbunuh, bahkan justru dapat merangsangnya untuk
membentuk turunan yang lebih kuat daya tahannya sehingga resisten terhadap
antibiotika. Karena itu, jika dokter memberikan obat antibiotika, patuhilah
petunjuk pemakaiannya dan harus diminum sampai habis. Pemakaian antibiotika
tidak boleh sembarangan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Itu
sebabnya, antibiotika tidak boleh dijual bebas melainkan harus dengan resep
dokter. Terlalu sering mengonsumsi antibiotika juga berdampak buruk pada
''bakteri-bakteri baik'' yang menghuni saluran pencernaan kita. Bakteri-bakteri
tersebut dapat terbunuh, padahal mereka bekerja membuat zat-zat yang bermanfaat
bagi kesehatan kita. Pemakaian antibiotika atau kemoterapetika
yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu, sekarang menjadi
kurang efektif. Oleh karena itu
perlu adanya pemantauan antibiotika/ kemoterapeutika yang
luas pemakaiannya dalam masyarakat.
.
SEFALOSPORIN
§
Hubungan struktur dan aktivitas
Sefalosporin dan penisilin termasuk golongan
antibiotika β – laktam. Sefalosporin mulai dikenal sejak tahun 1945. Guiseppe
Brotzu berhasil mengisolasi dan menyelidiki salah satu spesies dari lumut,
yaitu Cephalosporium acremonium yang mempunyai efek antibakterial
terhadap kuman tifoid, Brucela, kuman kolera, dan Staphylococcus aureus. Tahun
1949, Dr. Edward Abraham dan H.S. Burton menemukan sedikitnya ada dua macam
antibiotika yang diproduksi oleh lumut tersebut.
Antibiotika pertama dinamakan sefalosporin P, dan
antibiotika ke dua dinamakan sefalosporin N. Struktur
ini kemudian diberi nama penisilin N tetapi sifat antibakterialnya berbeda
dengan bensilpenisilin. Apabila penisilin N dijalankan secara kromatografi akan
terlihat beberapa substansi yang diberi tanda A, B dan C. Komposisi C keluar
menjadi suatu antibiotika dan diberi nama sefalosporin C. Akhirnya, pada tahun
1964 dua macam sefalosporin digunakan untuk kepentingan klinik, yaitu sefalotin
dan sefaloridin. Sesudah itu diikuti dengan munculnya turunan-turunan baru (3).
Ciri khas kelompok
sefalosporin adalah asam 7-amino sefalosporanat (7-ACA : 7-aminochephalosporanic acid) yaitu gabungan antara cincin β – laktam dan hidrotiazin.
Berbeda dengan inti penisilin meskipun keduanya termasuk antibiotik β –
laktam. Sefalosporin C resisten terhadap penisillinase, tetapi dirusak oleh
sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7 – ACA yang
kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin.
Melalui perubahan rantai R pada cincin beta-laktam dihasilkan bermacam jenis
sefalosporin yang mengakibatkan perubahan sifat antibakterial dan kimiawi,
sehingga kemudian dikelompokkan dalam generasi I, II dan III.
A = Cincin dihidrotiazin
B = Cincin β - laktam
Modifikasi
R1 pada posisi 7 cincin β – laktam dihubungkan dengan aktivitas
antimikrobanya, sedangkan substitusi R2 pada posisi 3 cincin
dihidroziatin mempengaruhi metabolisme dan farmakokinetiknya. Sefamisin
mempunyai struktur kimia yang mirip dengan sefalosporin, tetapi mempunyai
metoksi pada 7 cincin β – laktam. Pada inti dapat diikat berbagai radikal sehingga diperoleh jenis-jenis
sefalosporin lain.
§
Aktivitas antimikroba
Seperi
halnya antibiotik β – laktam lain, mekanisme kerja antimikroba
sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang
dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel. Sefalosporin dibagi menjadi 3 generasi berdasarkan
aktivitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan
masa pembuatannya..
a)
Sefalosporin generasi pertama
Memperlihatkan spektrum
antimikroba yang terutama aktif terhadap kuman gram – positif. Keunggulannya
dari penislin adalah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisillinase.
Golongan ini efektif terhadap sebagian besar S.aureus dan Streptococcus
termasuk Str.pyogenes, Str.viridans
dan Str.pneumoniae. bakteri
gram-positif yang juga sensitif ialah Str.anaerob,
Clostridium perfrigens, Listeria monocytogenes dan Corynebacterium diphteriae. Sefalospirin generasi pertama meliputi
senyawa-senyawa yang semula dikembangkan yakni;
·
sefalotin,
·
sefalosin,
·
sefasporin,
·
sefadrin,
·
sefaleksin,
dan
·
sefadroksil.
b)
Generasi kedua sefalosporin
Golongan ini kurang aktif terhadap
bakteri gram-positif dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif
terhadap kuman gram-negatif; misalnya H.influenzae,
Pr.mirabilis, E.coli dan Klebsiella.
Therhadap Ps.aeruginosa dan
enterokukos golongan ini tidak efektif. Untuk infeksi saluran empedu golongan
ini tidak dianjurkan karena dikhawatirkan enterokokus termasuk salah satu
penyebab infeksi. Sefoksitin aktif terhadap kuman anaerob. Sefalosporin
generasi kedua ini mecakup :
·
sefamandol,
·
sefoksilin,
·
sefaktor,
dan
·
sefuroksin.
c)
Generasi ketiga sefalosporin
Golongan ini umumnya kurang
aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kokus gram-positif, tetapi
jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae,
termasuk strain penghasil penisilinase. Di antara sediaan golongan ini ada
yang aktif terhadap Ps.aeruginosa.
Generasi ketiga sefalosporin meliputi :
·
sefotaksim,
·
moksalaktam,
dan
·
sefoperazon.
Dewasa
ini sefalosporin yang lazim digunakan dalam pengobatan, telah mencapai generasi
ketiga. Mekanisme kerja antibiotik sefalosporin yaitu inhibisi sintetis dinding
sel bakteri dengan cara seperti antibiotik penisilin.
Sefalosporin
aktif terhadap kuman gram - positif maupun gram – negatif, tetapi spektrum
antimikroba masing-masing derivat bervariasi.
S I F A T U M U M
·
FARMAKOKINETIK
Berdasarkan
sifat farmakokinetiknya, sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan. Sefaleksin,
sefradin, sefaktor, dan sefadroksil yang dapat diberikan per-oral karena
diabsorbsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan
secara intra vena karena menyebabkan iritasi lokal dan nyeri pada pemberian
intra muscular.
Sefalosporin
yang lain diberikan secara suntikan intra vena atau intra muscular. Beberapa
sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, moksalaktam, sefotaksim dan
seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS), sehingga
dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin
juga melewati sawar darah-uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan
cairan perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga
di cairan mata relatif tinggi, tetapi mencapai vitreus. Kadar sefalosporin
dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan
sefalosporin dieksresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses sekresi
tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieksresi melalui empedu. Karena itu dosisnya harus dikurangi pada
penderita insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi sefalosporin
kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin, dan sefotaksim
mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah
juga diekskresi melalui ginjal.
Sifat
farmakokinetik berbagai preparat sefalosporin dapat dilihat pada Tabel berikut
:
Tabel . Beberapa Data Farmakokinetik
Sefalosporin
Jenis Sefalosporin
|
Cara Pemberian
|
Ikatan protein plasma (%)
|
T ½ plasma (jam)
|
Ekskresi dalam urin (%)
|
Efek probenesid
|
Generasi Pertama :
|
|
|
|
|
|
Sefalotin
|
IV dan IM
|
70
|
0.6
|
70-80
|
+
|
Setazolin
|
IV dan IM
|
85
|
1.8
|
95
|
-
|
Sefapirin
|
IV dan IM
|
47-65
|
1.2
|
90(50)*
|
+
|
Sefradin
|
Oral, IV, dan IM
|
14
|
0.8
|
86
|
+
|
Sefaleksin
|
Oral
|
10-15
|
0.9
|
90
|
+
|
Sefadroksil
|
Oral
|
20
|
1.5
|
90
|
+
|
Generasi kedua :
|
|
|
|
|
|
Selfamandol
|
IV dan IM
|
75
|
0.8
|
85
|
+
|
Sefoksitin
|
IV dan IM
|
70-80
|
0.8
|
>85
|
+
|
Sefaklor
|
Oral
|
40
|
0.8
|
60-85
|
+
|
Sefuroksim
|
IV dan IM
|
33
|
1.7
|
>85
|
+
|
Sefuroksim aksetil
|
Oral
|
-
|
1.7
|
-
|
-
|
Generasi ketiga :
|
|
|
|
|
|
Sefotaksim
|
IV dan IM
|
40-50
|
1.1
|
90(50)*
|
+
|
Moksalaktam
|
IV dan IM
|
40-50
|
2.1
|
90
|
-
|
Sefoperazon
|
IV dan IM
|
82-93
|
2.1
|
30**
|
-
|
Seftizoksim
|
IV dan IM
|
30
|
1.8
|
90
|
+
|
Seftriakson
|
IV dan IM
|
83-96
|
8
|
60-80
|
-
|
Seftadizim
|
IV dan IM
|
17-20
|
1.8
|
75-85
|
-
|
Sefsulodin
|
IV dan IM
|
30
|
1.7
|
65-70
|
-
|
|
·
EFEK SAMPING
Reaksi alergi
merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip reaksi
alergi yang sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi alergi yang
ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme
bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang umumnya terjadi pada
penderita dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan
atau sedang kemungkinannya kecil. Dengan demikian pada penderita dengan alergi
penisilin berat tidak dianjurkan penggunaan sefaloporin atau kalau sangat
diperlukan harus diawasi dengan sungguh-sungguh. Reaksi Coombs sering timbul
pada penggunaan sefalosporin dosis tinggi. Depresi sumsum tulang terutama
granulositopenia dapat timbul meskipun jarang.
Sefalosporin
merupakan zat yang nefrotoksik, meskipun jauh kurang toksik dibandingkan dengan
aminoglikosida dan polimiksin. Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian
sefalodrin 4g/hari. Sefalosporin lain pada dosis terapi jauh kurang toksik
dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin dengan gentamisin atau
tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.
I N D I K A S I K L I N I K
Sediaan
sefalosporin seyogyanya hanya digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri berat
atau yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan spektrum
antibakterinya. Anjuran ini diberikan karena selain harganya mahal, potensi
antibakterinya yang tinggi sebaiknya dicadangkan hanya untuk hal tersebut di
atas. Perlu diingat bahwa sefalosporin generasi pertama dan kedua bukan
merupakan obat terpilih untuk kebanyakan infeksi karena tersedia obat lain yang
efektivitasnya sama dan harganya lebih murah.
Dari
berbagai uji klinik telah terbukti, bahwa sefalosporin generasi ketiga dapat
digunakan untuk terapi maupun untuk profilaksis, untuk pengobatan infeksi oleh Klebsiella, sefalosporin tunggal maupun
dalam kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat pilihan utama. Beberapa
sediaan sefalosporin generasi ketiga merupakan
K E S I M P U L A N
Pemakaian antibiotika atau
kemoterapetika yang dahulu amat efektif terhadap spesies kuman tertentu,
sekarang menjadi kurang efektif. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan
antibiotika/kemoterapetika yang luas pemakaiannya dalam masyarakat. Pemakaian
antibiotika yang sering, menyebabkan antibiotika tersebut menjadi resisten.
Efektivitas antibiotika yang berubah ini disebabkan adanya perubahan pada DNA
kuman
antara lain berupa penambahan sepotong
kecil DNA yang dinamakan plasmid. Salah satu hasil plasmid adalah ensim β-laktamase. Ensim tersebut menyebabkan antibiotika β- laktam betalaktam
menjadi senyawa inaktif melalui proses hidrolisis. Salah satu antibiotika
beta-laktam adalah sefalosporin yang pertama kali dikenal tahun 1945. Hingga
kini dikenal tiga generasi yaitu generasi I, II dan III dengan keistimewaannya
masing-masing. Untuk mendapatkan antibiotik baru yang potensiil,
perkembangan produk antibiotik saat ini cenderung ke arah derivatisasi kimia
untuk menghasilkan antibiotik semisintetik dari antibiotik yang sudah dikenal
dan biokonversi senyawa alami dengan bantuan mikroorganisme. Namun demikian
antibiotik baru dari sumber alam (mikroorganisme) masih dibutuhkan dan terus
dicari. Metode skrining yang paling mutakhir terus dikembangkan. Mutasi strain
penghasil antibiotik yang sudah dikenal juga dikembangkan, dengan harapan
mutasi gen pengontrol biosintesis antibiotik mungkin dapat mengubah struktur
produk akhir. Mutasi pada strain inaktif juga dapat mengubah metabolisme
normal dan mensintesis metabolit yang mempunyai aktivitas antibiotik. Para ahli
terus mencari dan berupaya dengan berbagai cara untuk mendapatkan antibiotik
baru. Skrining antibiotik semakin ketat terutama mencari antibiotik yang
mempunyai aktivitas tinggi terhadap mikroba patogen, toksisitas terhadap sel
manusia dan binatang rendah, spektrum lebih lebar, stabilitas baik (dan
karakteristik farmakokinetik memuaskan).
D
A F T A R P U S T A K A
Anonim, (1993), How to
Investigate Drug Use in Health Facilities, World Health Organization, Geneva
Quick, J.D. (EDITOR), (1997), Managing
Drug Supply, 2nd Ed., bab III D.28. 422–437, Kumarian Press, West Hartford
Zai, C., (2002), “Evaluasi Manajemen Obat: Penggunaan Obat yang
Rasional dan Biaya Pemakaian Obat di Puskesmas Kabupaten Nias, Tesis, 50–62, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta
Butterworth
D. Clavulanic acid. In: Biotechnology of Industrial
Antibiotics.
Vandamme EJ led). New York
: Marcell Dekker Inc. 1984 :
22536.
Fukagawa
Y, Ishikura T. Carbapenem compounds. In : Biotechnology of
Industrial
Antibiotics, Vandamme EJ (edi. New
York; Marcell Dekker Inc,
1984 : 23758.
Perlman D.
Microbial production of antibiotics. In :
Microbial
Technology2nd. ed. vol. I. London : Academic Press, 1979: 24180.
Sermonti
G. Genetics of AntibioticsProducing Microorganisms, Toronto :
Wiley
Interscience, 1969 : 100 -43.
Vandamme
EJ. Antibiotic Search & Production : An overview. In :
Biotechnology
of Industrial Antibiotics, Vandamme EJ led). New York;
Marcell
Dekker Inc. 1984 : 332.
1 komentar:
thanks for sharing.
Obat Perangsang Wanita
Obat Kuat Pria
Obat Pelangsing Badan
Obat Pembesar Penis
Obat Penggemuk Badan
Obat Peninggi Badan
Obat Penyubur Sperma
obat perangsang
Obat Perangsang Cair
Obat Perangsang Serbuk
Obat Perangsang Oles
Parfum Perangsang
Permen Perangsang
Posting Komentar